Selasa, 16 Desember 2008

IJTIHAD

IJTIHAD

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Para ahli usul fiqh (ushuliyyun) dan fuqaha mendefinisikan ijtihad adalah ” mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya ”. Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan) . Ijtihad juga bermakna, “Istafragh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umur mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men- tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan). Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafragh al- wus‘î fi thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘ala wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. ” Berangkat dari definisi yang telah disebutkan mengindikasikan bahwa ijtihad merupakan sebuah proses. Proses untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan ketentuan Islam dengan cara menggali hukum syariat dari dalil-dalil al-quran. Dalam konteks ini, mayoritas ulama as-salafus shaleh, hanya memperbolehkan ijtihad menggunakan dalil-dalil yang bersifat dzanni semata.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Jenis-jenis ijtihad:
Ijma' adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

Qiyas
beberapa definisi Qiyas:
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

Istihsân
beberapa definisi Istihsan:
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...
Mushalat murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
  1. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
  2. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
  3. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
  4. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
  5. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
IJTIHAD DAN MUHAMMADIYAH
Dengan otonomi maka gerakan Muhammadiyah daerah memiliki keleluasaan untuk melakukan ijtihad melalui Majelis Tarjih (bidang yang mengurusi gerakan ijtihad atau pemikiran keagamaan) masing-masing sesuai lata rbelakang sosial budayanya. Adalah sulit dipahami obsesi untuk menyeragamkan tarjih sementara persoalan-persoalan yang dihadapi masing-masing daerah sama sekali berbeda.
Kini Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di tingkat pusat, telah berkembang menjadi begitu hegemonik, dan berpretensi membawahi majelis-majelis yang sama di seluruh daerah. Akibatnya dinamika tarjih dan pembaruan pemikiran Islam di daerah tidak berkembang secara inovatif, kreatif, dan relevan dengan persoalan-persoalan lokal. Padahal, Muhammadiyah di Bali jelas amat berbeda dengan Muhammadiyah di Aceh, Muhammadiyah di Maluku, atau Muhammadiyah di Irian, di mana mereka harus memberi jawaban ala Muhammadiyah secara lebih kontekstual sesuai kondisi masing-masing. Ini belum mempertimbangkan kenyataan betapa ragam pemikiran keagamaan kalangan Muhammadiyah sekarang ini sudah sedemikian beragam dan amat luas spektrumnya. Ada yang sangat liberal, baik yang ke"kiri-kiri"an maupun yang ke"kanan-kanan"-an; dari yang sangat salafi sampai yang sangat moderen yang liberalnya tidak ketulungan; dari yang substantifis sampai yang masih skripturalis formalistik-simbolistik; dan seterusnya. Bagaimana mungkin pemikiran-pemikiran yang sedemikian luas spektrumnya akan diatur dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang cenderung sentralistis dan regimented itu.

IJTIHAD MUHAMMADIYAH DALAM BENTUK PEMBARUAN
Membongkar makna jihad Konsepsi jihad dengan pretensi negatif seperti kembali menemukan tempatnya dalam diskursus kebangsaan Indonesia. Sebelum dieksekusi, para terpidana mati kasus bom Bali mengartikan jihad sebagai perang fisik. Di situ, konsepsi jihad digunakan sebagai instrumen politis yang dapat membentuk sentimen secepat kilat. Mereka mengartikan jihad sebagai jalan cepat menuju kebahagiaan di alam eskatologis jika memenuhi kebenaran janji-janji Tuhan. Jihad identik dengan martyr. Dengan demikian, kaum muslim yang sudah terasuki pola seperti itu menjadi berani melakukan aksi-aksi irasional. Selain itu, fenomena yang datang dari bangsa lain, sentimennya mengungkit kaum muslim dalam ranah kebangsaan ini. Hal tersebut turut memicu konsepsi jihad. Seperti bangsa Palestina yang tak henti-hentinya diperangi bangsa Israel. Konflik rejimentasi politik di Afghanistan, terutama karena AS bermain atau mengintervensi tatanan pemerintahan di sana. Pendeknya, semua itu memicu konsepsi jihad yang disalahartikan dalam tatanan kebangsaan muslim Indonesia.
Jihad menjadi relevan dalam konteks kebangsaan ini karena tak syak lagi Indonesia dihuni oleh lebih dari 90 persen komunitas muslim. Meski, kecenderungan kuantitatif dalam ber-Islam mestinya ditinggalkan. Alasannya, angka kuantitatif yang banyak tidak akan menjamin secara kualitas. Namun, tendensi kuantitatif itu patut untuk meneropong bahwa tak ada demarkasi dengan konsepsi jihad. Justru karena kualitas kaum muslim Indonesia masih hitungan kuantitatif, konsekuensinya riskan dengan sentimen jihad. Maksudnya, banyak muslim salah menafsirkan konsepsi jihad karena pemahaman terhadap Islam di situ tidak plural. Karena Islam di Indonesia masih bersifat kuantitatif, di antaranya memiliki ciri tak menafsir ajaran Islam secara plural, dalam soal jihad, ia dapat memicu gerakan fundamentalisme dalam tubuh negara ini. Fenomena fundamentalisme dapat diaktualisasikan paling tidak dalam dua jenis. Yakni, fundamentalisme- pemahaman dan fundamentalisme- praktis. Yang disebutkan terakhir memberikan rasa ngeri di kalangan negara-negara Barat. Pasalnya, itu bisa diaktualisasikan dengan cara-cara kekerasan; pembunuhan, teror-teror bom, dan lain-lain.
Akibatnya, keharmonisan hubungan negara ini, khususnya dengan negara-negara Barat, menjadi renggang. Di Jakarta, misalnya, Kantor Kedutaan Besar Inggris, AS, dan Australia tak pernah sepi dengan penjagaan ketat aparat keamanan. Paling tidak, hubungan tiga negara itu dengan komunitas muslim di Indonesia kurang harmonis. Khususnya dengan komunitas muslim yang terbilang garis keras, hal mana tafsir terhadap jihad bersifat literal. Jihad di situ diartikan sebagai perang terhadap musuh. Sebab, asumsinya adalah musuh memerangi kaum muslim. Padahal, perang dalam bahasa Arab bukanlah jihad melainkan al-harb dan al-qatil. Jihad berarti kesungguhan yang berpretensi menyelesaikan problematika berpolemik dan ganjil. Sebaliknya, Islam justru menolak cara-cara kekerasan dan cinta terhadap perdamaian serta perbedaan jika dikelola dengan bijaksana. Teks-teks Quran mengenai jihad tidak berpretensi perang. Adapun mengenai al-harb dan al-qatil, itu pun merupakan legitimasi jika kaum muslim sudah benar-benar dikhianati dalam suatu perjanjian-perjanji an struktural yang bersifat profetis (QS 9:4-5). Perang tak dapat digelorakan kecuali mereka yang memerangi kamu. Tetapi, jangan memulai agresi, sesungguhnya Tuhan tak suka kepada orang yang melakukan agresi (QS 2:190). Teks-teks itu pada umumnya berbicara ketika kaum muslim sudah tak lagi punya pilihan-pilihan instrumental yang sifatnya win-win solution. Dalam konteks teori politik modern, teks-teks tersebut sudah lapuk digunakan karena tak sesuai dengan kondisi masyarakat modern.
Lebih jauh lagi, mengapa kaum muslim tak menggunakan instrumen-instrumen lain ketika menafsirkan jihad. Jihad sesungguhnya dapat diaktualisasi ke dalam bentuk "diplomasi". Sebab, itu relevan dengan tatanan kemanusiaan modern. Diplomasi tak akan pernah terlaksana manakala tak terlebih dahulu diberi pemahaman yang mapan dan meleburkan pemahaman itu ke dalam situasi pluralitas. Untuk memapankan pemahaman kaum muslim, jihad mestinya berpindah menuju ijtihad. Ijtihad tak hanya digumuli dengan tafsir hegemonik terhadapnya. Misalnya, hanya untuk merespons perkembangan dalam ilmu fikih seperti yang selama ini terjadi. Akan tetapi, ijtihad semestinya digunakan sebagai instrumen yang berpretensi hendak mencari solusi-solusi dari problematika yang terus menggelayuti kaum muslim. Pengaruh ijtihad dalam bentuk itu lebih besar -dalam rangka pembelaan terhadap Islam dan kaum muslim- daripada aksi-aksi tak karuan yang dapat menimbulkan ketegangan yang nirtatanan dunia baru. Jika kaum muslim mengimani bahwa tak ada suatu problem yang tak dapat dipecahkan, berkaitan dengan ketegangannya dengan peradaban Barat, ssungguhnya pendekatan ijtihad dengan pretensi itu membawa kedekatan kaum muslim kepada pemahaman-pemahaman baru yang bersifat solutif dan nir kekerasan. H M. Rasjidi, seorang intelektual muslim Indonesia dan sarjana lulusan kampus di Perancis, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an pernah melakukan cara-cara diplomatik dengan Barat. Meskipun pretensinya membela Islam dan kaum muslim di panggung internasional, perjuangan Rasjidi patut diteladani bagi kecenderungan kaum muslim sekarang ini yang mengaktualisasikan jihad dengan cara-cara kekerasan.
Meskipun tergolong muslim yang mengkritik keras pembaruan Islam Nurcholish Madjid pada era 1980-an, pendekatan "jihad" Rasjidi diaktualisasi dalam pola ijtihad, dalam arti kesungguhan membela Islam dengan jalan diplomatik, argumentasi yang rasional lewat karya-karya intelektualnya. Dalam rentang 70-80-an, Rasjidi menerjemahkan trilogibuku karya intelektual Barat. Yakni, karya Prof Marcel Boisard, Prof Roger Garaudy, dan Prof Maurice Bucaille. Meski ditulis orang Barat, karya-karya itu memiliki pretensi membela Islam. Tidak hanya menaruh simpati, tetapi juga memberikan bukti-bukti bahwa sejarah peradaban (civilization) Islam adalah peradaban yang pernah memberikan spirit terhadap peradaban Barat hingga zaman renaisans. Karya-karya itu juga bertujuan meninggalkan etnocentic (rasa bahwa Barat-lah yang terpenting di dunia ini). Sebaliknya, menghilangkan purbasangka- purbasangka tentang Islam dan membuktikan bahwa Islam yang justru menimbulkan kesadaran di Barat paling tidak hingga abad pencerahan. Di situ, pendekatan ijtihad diaktualisasi dalam bentuk diplomatik. Konsekuensinya memiliki makna yang dalam karena berusaha menyuguhkan tawaran paradigmatik baik kepada Barat maupun kepada kaum muslim itu sendiri. Dikatakan kepada Barat karena ternyata Islam dan kaum muslim pernah menorehkan sejarah gemilang, yang dibuktikan lewat pendekatan-pendekat an empirik. Dalam konteks itu, peradaban Barat menyadari bahwa mereka paling tidak tersadar akan cultural-indebtedne ss-nya pada peradaban Islam.
Ruang Ijtihad Hilang atau menyempitnya ruang ijtihad. Pada awal berdirinya Ahmad Dahlan muda begitu kreatif dalam berijtihad, khususnya ijtihad sosial. Tetapi dalam perkembangannya proses kreatif yang bernuansa pembahauan (tajdid) menyempit penjadi pemurnian (purifikasi). Celakanya, purifikasi diartikan sebagai skriptualisasi dengan standar teks al-Qur’an dan hadits sehingga ketika ada fenomena yang secara tekstual dalam kedua sumber hukum tersebut dianggap sebagai bid’ah dan sesat. Padahal kita tahu banyak persoalan dan nilai-nilai sosial seperti kearifan-kearifan lokal yang secara tekstual tidak tercantum dalam al-Qur’an dan hadits. Mestinya, jika Muhammadiyah tidak ingin kehilangan eksistensinya di tengah arus kehidupan ketika ada nilai-nlai yang secara tekstual tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits maka di situlah sebenarnya kita diberi ruang untuk dengan sungguh-sungguh menggunakan kemampuan yang kita miliki untuk memutuskan hukum sendiri. Inilah yang dinamakan dengan ijtihad.
Persoalannya adalah ketika ruang ijtihad itu justru tertutup oleh paradigmanya sendiri yakni ruju’ ila al-Qur’an wa al-Hadits (kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits). Di sinilah lalu Muhammadiyah menjadi sulit bergerak dan berkembang karena memang kehilangan pijakan kreatifitas teologisnya. Muhamadiyah mengalami kekeringan intelektual akibat kehilangan rujukan tradisi intelektual klasik yang sedemikian luas sebagai inspirasi semangat berfikir/berijtihad. Kelemahan ini berimbas terhadap banyak hal di antaranya Muhammadiyah kesulitan menanamkan tradisi keberagamaannya di tengah masyarakat secara mengakar. Jika para ulama terdahulu berhasil menciptakan tradisi-tradisi yang mampu menciptakan komunitas umat, hal ini belum mampu dilakukan oleh Muhammadiyah. Fenomena ini dapat dilihat bahwa komunitas Muhammadiyah sebagian besar hanya berada di sekitar amal usahanya seperti kampus, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Itu pun karena mereka sekolah atau bekerja di amal usaha Muhammadiyah tersebut. Lembaga-lembaga pelayanan publik milik Muhammadiyah nampaknya belum mampu memuhammadiyahkan orang-orang yang ada di dalamnya sekalipun, apalagi masyarakat sekitarnya.
Ijtihad merupakan bagian dari Islam. Islam dan Ijtihad tidak bisa dilepaskan. Ia bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya akan tetap menyatu dan saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini terkait dengan kondisi masyarakat Islam yang terus berkembang, sehinga tidak boleh-tidak penafsiran baru terhadap teks keagamaan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman, menjadi urgen diapresiasi dan direalisasikan. Apalagi, Islam bukan kepanjangan tangan dari kultur Arab atau istilah Muhamad Abed al-Jabari ”Nalar Arab” sehingga interpretasi dan ijtihad baru
penting diaplikasikan.

Tidak ada komentar: